Menjaga Spiritualitas Pendidikan di Era Marketplace
-Julia M Cameron. Pexels-
Oleh: Rangga Sa’adillah S.A.P.
GLOBALISASI telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Salah satu perubahan yang cukup mengkhawatirkan adalah semakin pudarnya spiritualitas pendidikan akibat dominasi nilai-nilai kompetisi, efisiensi, dan profitabilitas. Guru sebagai ujung tombak pendidikan memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan ini.
Berkaitan dengan Marketplace, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim kembali menjadi sorotan usai mencetuskan ide barunya terkait penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia. Ide baru tersebut berupa gagasan pembentukan platform bernama Marketplace guru atau lokapasar.
Tentu saja ide ini begitu kontroversial sebab dunia pendidikan lebih-lebih guru bukan sebatas dunia “penawar jasa pendidikan” atau “pemenuh pasokan kebutuhan pasar” pelajar –melainkan sebuah dunia yang penuh dengan “Tarbiyah” dan nilai-nilai spiritualitas yang sulit untuk dipisahkan. Elokkah guru “di pasarkan” pada platform Marketplace?
Guru memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa, termasuk aspek spiritualitas. Spiritualitas pendidikan mencakup internalisasi nilai-nilai moral, etika, dan kearifan lokal yang menjadi landasan dalam menghadapi kehidupan. Dalam konteks ini, guru memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada siswa serta menjadi contoh dan teladan dalam mengimplementasikannya.
Bukan bermaksud untuk menolak atau sepakat dengan lontaran ide dari Mendikbudristek, penulis hanya ingin mengingatkan bahwa dalam komoditi Marketplace, ada aspek-aspek yang mungkin tidak akan bisa ditemukan.
Tantangan Pendidikan di Era Marketplace
Marketplace dalam konteks pendidikan adalah sistem yang menekankan pada aspek kompetisi, efisiensi, dan profitabilitas. Dalam sistem ini, pendidikan dianggap sebagai komoditas yang diperjualbelikan dan dinilai berdasarkan hasil yang dapat dicapai. Hal ini tentu berdampak pada pergeseran nilai-nilai pendidikan yang lebih mengedepankan aspek materi dan pragmatis.
Tiga hal yang menjadi tantangan guru dalam menjaga spiritualitas pendidikan di tengah “komersialisasi pendidikan” ala marketplace adalah: Pertama, orientasi pendidikan akan lebih mengedepankan hasil. Guru sering kali dihadapkan pada tuntutan untuk mencapai target-target prestasi yang telah ditetapkan. Hal ini membuat guru lebih fokus pada upaya mencapai target tersebut, sehingga aspek-aspek non-akademik seperti spiritualitas dan karakter siswa menjadi terabaikan.
Kedua, tentu saja “komersialisasi pendidikan”. Dalam platform Marketplace guru ibarat komoditi yang diperebutkan oleh sekolah dan siswa. Banyak lembaga pendidikan lebih mementingkan profitabilitas dari pada kualitas pendidikan yang diberikan. Hal ini berdampak pada penekanan terhadap aspek materi dalam pendidikan, sehingga nilai-nilai spiritual dan humanis menjadi terpinggirkan.
Ketiga, akan semakin minimnya musafahah (interaksi) antara guru dengan siswa. Kemajuan teknologi dalam dunia pendidikan memang membawa banyak manfaat, namun di sisi lain, teknologi juga berpotensi mengurangi musafahah atau interaksi langsung antara guru dan siswa. Interaksi yang lebih bersifat virtual ini membuat proses internalisasi nilai-nilai spiritual menjadi lebih sulit dilakukan.
Strategi Menghadapi Pudarnya Spiritualitas Pendidikan
Untuk menghadapi tantangan tersebut, guru perlu melakukan beberapa upaya. Seperti menyelaraskan kurikulum dengan nilai-nilai spiritual, sehingga pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kepribadian siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam setiap materi pelajaran yang diajarkan.
Selain menyelaraskan kurikulum dengan nilai-nilai spiritual, hubungan empatik antara guru dengan siswa juga perlu dibangun. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih aktif mendengarkan dan menghargai perasaan serta pendapat siswa, serta membantu mereka menghadapi masalah yang dihadapi. Inilah ruh yang harus kembali dibangun oleh guru dan ruh ini jelas tidak akan bisa ditemukan di mesin digital.
Membangun rasa empatik terhadap siswa juga bisa dilakukan melalui kolaborasi dan dukungan antar guru. Kolaborasi ini dapat dilakukan dalam bentuk diskusi, pelatihan, dan pertukaran pengalaman terkait strategi dan metode pengajaran yang efektif dalam mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam proses pembelajaran. Dengan bekerja sama, para guru dapat saling mendukung dan memperkaya pengetahuan serta keterampilan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi.
Dalam menghadapi pendidikan di era marketplace guru tidak boleh hanya seolah meratapi era yang semakin maju, melainkan guru harus menjadi teladan dalam mengimplementasikan nilai-nilai spiritual. Sebab nilai inilah yang tidak bisa tergantikan oleh komoditi Marketplace.
Guru ibarat sebagai agen perubahan, guru perlu menjadi contoh dan teladan dalam mengimplementasikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan membantu siswa untuk lebih mudah menerima dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut.
Menghadapi tantangan pudarnya spiritualitas pendidikan di tengah maraknya marketplace, peran guru sebagai agen perubahan dan teladan sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan antara aspek materi dan spiritual dalam pendidikan. Dengan upaya yang tepat, para guru dapat tetap menjaga dan mengembangkan spiritualitas pendidikan bagi siswa, sehingga pendidikan tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter dan kepribadian yang baik.
Menjaga spiritualitas pendidikan di tengah maraknya marketplace memang menjadi tantangan yang cukup berat bagi para guru. Namun, dengan upaya yang tepat dan dukungan dari orang tua, masyarakat, dan teknologi, para guru dapat menghadapi tantangan ini dan menjaga keseimbangan antara aspek materi dan spiritual dalam pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya akan menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter dan kepribadian yang baik, serta mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan dengan landasan nilai-nilai spiritual yang kokoh.
Selain guru, orang tua dan masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga spiritualitas pendidikan. Oleh karena itu, para guru perlu bekerja sama dengan orang tua dan masyarakat dalam upaya menghadapi tantangan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter dan kepribadian siswa, serta menyelenggarakan kegiatan yang menggali kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya sebagai bagian dari proses internalisasi nilai-nilai spiritual. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: